Wednesday 1 December 2010

Neoliberalisme


Paham neolibral awalnya berangkat dari diskursus yang berkembang di kalangan para ekonom yang berada di Washington DC, untuk menyikapi krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Latin pada pertengahan 1980-an, terutama yang menimpa tiga negara besar Meksiko, Brasil, dan Argentina. Para ekonom yang terlibat dalam diskursus tersebut semuanya bermukim di Washington, yang terdiri atas IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat.

Dari serangkaian diskusi, tercapailah semacam konsensus yang dirumuskan menjadi 10 elemen. Ini merupakan resep generik yang bisa pula direkomendasikan bagi negara-negara berkembang lain yang umumnya memiliki karakteristik yang mirip. Krisis ekonomi Amerika Latin tersebut kemudian berulang lagi pada 1994. Formula ini kemudian disebut dengan Washinton Consensus, yang pertama kali dilontarkan oleh John Willliamson (1994). Belakangan, resep ini sering disebut sebagai NEOLIBERALISME.

Dalam situasi krisis, negara-negara Amerika Latin direkomendasikan menjalankan 10 kebijakan:
  1. Disiplin Fiskal (fiscal austerity). Pemerintah negara-negara berkembang diminta untuk meenjaga anggaranya agar tetap surplus. Namun bila sisi fiskalnya tertekan hebat, masih ditoleransi mengalami defisist, asalkan tidak lebih daripada dua persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
  2. Belanja peemerintah (APBN) seyogyanya diprioritaskan untuk memperbaiki distribusi pendapatan. Pemerintah disarankan untuk banyak membiayai proyek-proyek dan program-program untuk menaikan pendapatan kelompok miskin, agar indeks Gini menurun.
  3. Sektor fiskal (perpajakan) perlu direformasi, terutama dengan melakukan perluasan obyek pajak dan wajib pajak (broaden the base).
  4. Sektor finansial perlu diliberalisasikan. Para penabung harus tetap mendapatkan suku bunga riil positif (positive real interest rate), dan hindari perlakuan suku bunga khusus kepada debitur tertentu.
  5. Dalam hal penetuan kurs mata uang, seyogyanya dilakukan dengan mempertimbangkan daya saing (competitiveness) dan kredibilitas. Kurs yang terlalu kuat memang seolah-olah kredibel, namun tidak membantu daya saing produk ekspor. Sebaliknya, jika kurs terlalu lemah maka kredibilitas perekonmian akan runtuh.
  6. Perdagangan sebaiknya diliberalisasikan. Pemerintah harus menghapus hambatan-hambatan yang bersifat kuantitatif agar arus perdagangan bisa lancar dan efisien.
  7. Hendaknya investasi asing  tidak didiskrimasikan. Perlakukanlah investasi asing sama dengan investasi domestik, karena keduanya sama-sama  diperlukan untuk mendorong perekonomian dan menciptakan lapangan pekerjaan.
  8. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seyogyanya diprivatisasikan. Tujuanya untuk menaikan efisiensi dan membantu pembiayaan defisit APBN.
  9. Lakukanlah deregulasi, atau hilangkan segala macam bentuk restriksi atau hambatan-hambatan bagi perusahaan baru yang hendak masuk ke pasar. Buatlah iklim kompetisi di pasar.
  10. Pemerintah perlu menghormati dan melindungi hak cipta (property rights) agar menumbuhkan iklim inovatif.
Dari kesepuluh elemen tersebut, biasanya dapat diperas menjadi tiga pilar terpenting, yakni:
  1. Kebijakan fiskal yang disiplin dan konservatif.
  2. Privatisasi BUMN.
  3. Liberalisasi pasar (market fundamientalism).
Dari 10 elemen diatas, kontroversi tampaknya terletak  pada isu privatisasi BUMN dan liberalisasi pasar, karena hal ini bersinggungan  dengan peran dan kepemilikan asing, sehingga mudah menyulut semangat anti-asing (xenophobia). Isu privatisasi BUMN, misalnya. Secara akademik, hal ini bisa mendorong BUMN untuk memperbaiki tata kelola (governance). BUMN yang diprivatisasi akan dibebaskan dari kecanggungan hubungan antara pemilik (principal) dan pengelola (agent),  sebagaimana tergambar dalam skema teori principal-agent problems.

Secara akademik, pendukung privatisasi berakar pada argumentasi kegagalan pemerintah (government failure), property rights, hubungan pemilik dan pengelola, serta masalah insentif.

Dalam praktik, privatisasi BUMN yang dilakukan pada saat krisis, terpaksa diserahkan ke tangan asing, karena kita memerlukan devisa untuk mendukung  kurs rupiah yang sedang tertekan. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan kita yang tak lagi membedakan PMA (Penanaman Modal Asing) dan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri). Kita memerlukan PMA karena butuh penambahan cadangan devisa, menciptakan lapangan pekerjaan, dan mendorong perekonomian.

Kesimpulan, neoliberalisme adalah formula generik yang sebenarnya mengandung hal-hal yang baik, misalnya disiplin fiskal dan prioritas belanja pemerintah untuk mengurangi disparitas pendapatan. Secara esensial, kebijakan ini jelas sekali berpihak kepada rakyat. Namun, sebagaimana obat apapun, jika diberikan dengan dosis yang berlebihan serta timing-nya tidak tepat, hasilnya malah kontraproduktif.

Reference: A. Tony Prasetiantono, 30 Mei 2009, Pak Boed dan Sinyal Pidato Guru Besar

    2 comments:

    1. wuuusss...bahasanmu berat, buku pak bud yow

      ReplyDelete
    2. iya, bukunya Pak Boediono... hasil kuliah kelas Pak Tony :)

      ReplyDelete